Hilangnya 3 Nama Besar dalam Dakwaan Korupsi E-KTP Setya Novanto Dipertanyakan

JAKARTA – Setya Novanto sudah menjalani sidang perdana kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. Tapi, dalam dakwaannya tak disebutkan nama-nama yang sempat diduga sebagai penerima aliran dana korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun.

Nama Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Sulawesi Utara Olly yang sempat tertera dalam dakwaan terdakwa e-KTP lain, tiba-tiba tidak ada didakwaan Setya Novanto.

“Menariknya kenapa tiga nama dari PDIP tiba-tiba hilang dalam dakwaan Setya Novanto. Nama itu adalah Yasona Laoly Ganjar dan Olly sementara selama ini, ketiga nama di atas dalam dakwaan JPU terhadap ketiga tersangka sebelumnya selalu ada,” kata Direktur Jenggala Center Syamsuddin Radjab dalam siaran pers dikirim ke Okezone, Sabtu, (16/12/2017).

Proyek e-KTP pendanaannya besar dan multiyears dirumuskan oleh Kemendagri (Gamawan Fuazi) dan dikonsultasikan dengan Presiden (SBY).

“Nalar sadar saya, tidak mungkin keduanya tidak mengetahui proyek tersebut. Setya Novanto (SN) sangat berperan penting dalam kasus sesuai dengan kesaksian dan fakta persidangan para terdakwa sebelumnya yaitu Irman, Sugiharto dan Andi Narogong,” katanya.

“Jadi, pernyataan pengacara SN, M Maqdir Ismail dalam acara diskusi Polemik Sindo Trijaya, bahwa SN tidak mengetahui masalah e-KTP tidak dapat diterima nalar sadar publik. SN dapat dipastikan tahu siapa saja yang menerima uang korupsi jumbo tersebut, tapi pasti ada resikonya sesuai pendapat waketum Gerindra, Ferry Julianto, yaitu mati. Dalam hal itu, keterangan mantan Presiden SBY perlu didengar oleh KPK.”

Radjab mengatakan, KPK telah mengabaikan tiga nama yang hilang tersebut dan memanggap sebagai hal yang biasa dalam dakwaan. Menurutnya argumen yang diungkapkan KPK kurang tepat dan terkesan melindungi ketiga nama tersebut.

“Dalam penyusunan dakwaan, konsistensi rangkaian peristiwa hukum dan nama-nama terduga pelaku harus tergambar dengan jelas sehingga delik pidananya menjadi jelas, pengenaan pasalnya tepat dan keterlibatan masing-masing pihak akan terurai secara nyata, apakah sebagai inisiator, pelaksana, ikut serta atau peran apa yang dimainkan sehingga suatu peristiwa pidana korupsi terjadi,” paparnya.

Menurut Radjab, dengan hilangnya tiga orang tersebut KPK dinilai tidak konsisten dan diskriminatif dalam penegakkan hukum.

Akibatnya rangkaian peristiwa pidana korupsi KTP-EL tidak sempurna, mengurangi pelaku dan keiukut sertaan seseorang yang diduga turut serta dalam suatu tindak kejahatan korupsi, hal itu sama saja dengan korupsi.

“Saya tegaskan, pemberantasan korupsi dengan cara diskriminatif, tidak adil dan tebang pilih sama jahatnya dengan tindakan korupsi itu sendiri,” tegasnya.

 

(sal)