JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencium peluang bisnis Pertamina. Peluang tersebut adalah kemungkinan untuk mengimpor liquefied petroleum gas (LPG) dengan harga murah dari Aljazair.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan peluang tersebut tercium ketikan dirinya mengunjungi negara Afrika beberapa hari yang lalu. Dirinya menemukan fakta jika harga gas di aljazair relatif lebih murah.
“Ada peluang yang bisa dikerjakan Pertamina di sana (Aljazair) dan ada kemungkinan LPG Pertamina diimpor dari Algeria,” ujarnya di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (13/3/2018).
Archandra melanjutkan, nantinya skema impor tersebut akan dilakukan secara businnes to bussines (B2B) antara PT Pertamina (Persero) dengan Sontrach Oil yang merupakan perusahaan migas asal Aljazair. Artinya untuk jumlah impor tersebut akan diserahkan sepenuhnya
“Skemanya tetap bisnis to bisnis. Tapi G to G nya pemerintah membantu semaksimal mungkin. Agar hubungannya bisa berjalan dengan sebagaimana harapan. Angka impor belum ada, kita serahkan ke Pertamina,” jelasnya.
Nantinya lanjut Arcandra, pemerintah juga akan membantu agar impor LPG bisa mulus. Dengan cara melakukan negosiasi langsung dengan pihak pemerintah maupun pihak Sonotracth untuk bisa memberikan harga yang murah.
“Bantuan, misalnya dalam negosiasi ada special harga gak. Sehingga kita dapat manfaat harga yang lebih murah. Karena ini langsung dengan Sonotrach jadi gak pakai pihak ketiga. Kita dorong, agar pemerintah mereka bisa bantu kita sehingga kita bisa dapat harga yang murah,” ucapnya.
Namun lanjut Arcandra, dirinya belum bisa memastikan berapa harga dan manfaat yang bisa didapatkan dari impor LPG dari Aljazair. Akan tetapi yang pasti, Pertamina akan bisa mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan sekarang.
“Belum bicara soal itu, tapi dengan direct negosiasi, kita bisa dapatkan harga yang lebih murah. Kita support Pertamina untuk melakukan bisnis di Aljazair,”ucapnya.
Dalam kunjungannya tersebut, Archandra bertemu dengan pemerintah negara tersebut (Aljazair). Dalam pertemuan tersebut dirinya sempat menanyakan harga gas di Aljazair yang dikabarkan dijual dengan harga USD1.
“Saya berkesempatan bertemu dengan presiden Pertaminanya Algeria. Sebelumnya disebutkan ada harga gas murah di Algeria dijual dengan USD1. Saya ada kesempatan ketemu di sana, saya bertanya apakah benar ada,” kata Arcandra.
Dari hasil pertanyaannya tersebut, dirinya akhirnya mendapatkan sebuah jawaban yang ternyata benar jika harga gas di sana dijual dengan harga USD1. Akan tetapi harga gas tersebut hanya diperuntukan untuk kebutuhan masyarakat domestiknya saja.
“Jawabannya ada (harga gas) dijual USD1. Tetapi itu untuk kebutuhan masyarakat mereka domestik karena sistem ketatanegaraan mereka sosialis,” ucapnya.
Sementara jika untuk kebutuhan ekspor, harga gas dijual dengan harga sama seperti apa yang Indonesia jual yakni 10% dari harga minyak dunia. Artinya untuk kebutuhan ekspor , pemerintah Aljazair menjual dengan harga USD6.
“Saya tanyakan lagi apakah untuk harga ekspor juga USD1. Ternyata mereka jawab mereka punya pipa untuk mengalirkan gas ke Europe. Tapi harga jualnya 10% dari harga Minya dunia jadi untuk ekspor sekitar USD6 dolar,” jelasnya.
Archandra juga sempat menanyakan kemungkinan untuk perusahaan industri asal Indonesia bisa masuk ke negara Afrika tersebut. Namun dengan harga gas yang juga dijual kepada masyarakat yakni USD1.
Akan tetapi, pemerintah negara Aljazair lagi-lagi akan sangat sulit jika perusahaan Indonesia.masuk akan tetapi dengan harga gas yang sama dengan dijual kepada masyarakat. Menurutnya , jika perusahaan industri ingin masuk maka harga gas yang harus dibayarkan sama dengan harga gas ekspor yakni USD6.
“Harga gas satu dolar ini berasal dari titipan Kementerian Perindustrian untuk ditanyakan apakah Pupuk Indonesia bisa masuk ke sana. Mereka sekarang untuk pabrik pupuk USD6 juta dan pupuknya untuk konsumsi dalam negeri. Ini berarti kecil kemungkinannya dan harga gasnya akan ditetapkan sama dengan ekspor. Jadi intinya, bahwa harga gas USD 1 ada tapi untuk konsumsi masyarakat sendiri tapi industri enggak bisa,” jelasnya.
(rzy)