PEKANBARU – Mantan pentolan Negara Islam Indonesia (NII), Crisis Center, Ken Setiawan mengungkapkan, prekrutan jaringan teroris dengan berbagai organisasi yang terus berkembang jumlah laporannya sebanyak 4.500 di Indonesia. Khusus untuk di Riau, ada 80 laporan warga yang diduga ikut dalam jaringan terorisme.
“Secara nasional laporan yang kita terima sejak tahun 2011 sampai sekarang ada 4.500 laporan yang masuk ke kita soal warga yang diduga cukup kuat terpapar jaringan terorisme,” kata Ken saat jadi pemateri acara bertajuk ‘Silahturahmi dan Diskusi Indonesia Damai Tanpa Hoax, Intoleransi, Ekstremisme’ di Pekanbaru, Kamis (24/1/2019).
Kegiatan diskusi ini diselanggarakan Mabes Polri yang bekerjasama dengan MUI Riau dan NII Center. Hadir dalam pembicara, Pendiri NII Center, Ken Setiawan, Sekjen MUI Riau, HM Zulhusni Domo, dan Forum Koordinasi Penanggulangan Teroris (FKPT) Riau, Dr Saifunnajar MH.
Menurut Ken yang pernah tiga tahun di NII dan sekarang sudah meninggalkan organisasi terlarang itu, bahwa kondisi sekarang sepertinya sudah aman. Hal itu diceritakan Ken di hadapan ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Pekanbaru.
“Kelihatannya di media mereka adem, tapi justru kesempatan ini mereka sempatkan betul. Mereka bersatu walaupun berbeda nama organisasinya, tapi punya tujuan yang sama menggulingkan pemerintah dengan berbagai isu, kini mereka bersatu dalam aksi-aksi mengkritisi pemerintah,” kata Ken.
Bahkan, kini jaringan terorisme ini beraplisiasi kelompok manapun. Termasuk juga adanya jaringan teroris di Riau. Mereka juga aktif mengais sumbangan dengan berbagai modus yayasan. Hal itu dinilai merusak yayasan yang ada sesungguhnya.
“Mereka bergabung juga dengan jaringan Hilafatul Muslimin. Hampir semua kelompok ini bermuara di sana. Kegiatannya kelihatan bagus, ada kegiatan bakti sosial. Ini yang harus kita waspadai. Bahkan mereka sekarang masuk kampus, dan sekolah hingga ke foodcourt (lokasi makan-makan),” ucap Ken.
Berdasarkan catatan NII Center, sejak tahun 2011 hingga saat ini pihaknya menerima 4.500 pengaduan soal terpapar terorisme. Aduan itu datang dari masyarakat, juga individu. Bentuk pengaduannya, bisa jadi laporan warga di sekitarnya ada warga yang terpapar teroris atau keluarga mereka sendiri.
“Di Riau ada sekitar 80 laporan soal terpapar paham radikal. Umumnya di lingkungan kampus. Kalau wilayahnya, paling banyak di Kampar selanjutnya ada di Dumai dan Pekanbaru. Ini laporan yang kita terima,” kata Ken.
Jaringan teroris saat ini, bentuk rekrutmen tidak seperti dulu yang langsung mengkafirkan pada kelompok lain. Rekrutmen sekarang tidak lagi di musala. Mereka lebih secara halus dalam mencari anggota baru. Sasarannya masyarakat dan mahasiswa yang mudah dipengaruhi.
“Sekarang di tempat umum, ada di cafe, ada di taman yang orang tidak curiga. Kita mendata, satu orang merekrut untuk 5 orang. Korbannya laki-laki yang merekrut perempuan. Sebagian rekrutmen yang mereka laksanakan cukup berhasil,” kata Ken.
Kelompok sel-sel terorisme sekarang ini, selalu berusaha menjadi bunglon di masyarakat. Para jaringan ini menyesuaikan sesuai dengan komunitasnya.
Menurut Ken, kalau untuk kalangan mahasiswa biasanya mereka yang mendekati adalah alumni. Awalnya adalah intoleransi yang menganggap bahwa dirinya yang paling benar yang selalu bersumber pada hukum Islam.
“Yang lain di luar mereka salah, jadi warna tidak banyak, kalau tak hitam putih, kalau tak bener ya salah, kalau tak beriman kafir. Ini menggunakan kaca mata kuda dan ini banyak terjadi. Mereka tertarik dengan konsep-konsep itu yang akhirnya bergabung, itu yang terjadi saat ini,” kata Ken.
Ken menyebutkan, khusus di Riau sebagian laporan masyarakat soal teroris sudah ada yang berhasil ditangani NII Center. Ada juga para perantau dari Riau yang datang ke Jakarta juga terpapar terorisme.
“Paling banyak kalangan buruh, di mana orang Riau datang ke Jakarta, ternyata mereka bergabung (jaringan teroris), jadi sasarannya kalangan buruh,” kata Ken.
Kelebihan kalangan buruh adalah, kapan mau pulang ke tempat tinggalnya tidak ada yang memantau. Kalau mahasiswa atau pelajar akan mudah ketahuan saat dia pulang sekolah atau kuliah.
“Kalau buruh, kapan mau pulang ditempat kos-kosan mau tidak pulang sehari, seminggu sebulan tidak ada yang nyari. Ini mereka tak ada yang ngontrol. Sehingga ketika mereka bergabung (jaringan terorisme) menjadi totalitas yang akhirnya banyak anak-anak hilang, yang sampai hari ini belum terdeteksi oleh pemerintah,” kata Ken. (gs1)