Teriknya matahari di ujung musim panas tahun 2009 tidak membuat semangat Rahman Ali kendor untuk mengolah lahan tidur di Desa Jaya, tak jauh dari rumahnya. Bahkan, panas matahari membakar semangatnya untuk segera menyelesaikan penggalian 40 lobang di lahan tersebut.
Bersama sang istri Eli Hamidah, Rahman Ali tetap semangat mengayunkan cangkul menggali lobang. Mereka mulai bekerja saat matahari mulai menyinari Kenegerian Kopah dan pulang ketika petang. Rutinitas seperti itu sudah dilakukan sejak dua minggu sebelumnya.
Rahman Ali harus bekerja ekstra agar lahan tersebut selesai sebelum musim hujan. Sebab, lahan yang akan ia tanam kelapa sawit tersebut berada di dataran rendah. Ia takut, ketika musim hujan datang, tidak bisa melakukan penanaman.
Akhirnya, pekerjaan membersihkan lahan dan pembuatan lobang selesai. Rahman Ali membawa bibit kelapa sawit yang berumur tujuh bulan ke lokasi untuk segera ditanam.
“Kami tak punya peralatan canggih, hanya peralatan seadanya. Hanya saja, kami punya tekad yang kuat, hingga lahan selesai,” kenang Rahman Ali, Jumat 13 Maret 2020 saat ditemui di rumahnya di Desa Jaya Kopah.
Rahman Ali merupakan warga Desa Jaya Kecamatan Kuantan Tengah, Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Ini adalah keluarga yang sederhana. Hidup dengan tiga orang anak, yakni Septya Weli, Despa Indragirta dan Yogi Maindra.
Awal mulanya, lanjut Rahman, dirinya tidak begitu paham dengan kelapa sawit. Informasi mengenai kelapa sawit hanya ia dapatkan dari televisi. Bahkan, Rahman tidak tahu jenis bibit yang akan ditanamnya.
“Saya beli kecambah dari kenalan yang bekerja di PT Duta Palma, katanya ini bibit jenis pelepah panjang dan asli dari Medan. Apa namanya ya, BPKS entah PPKS. Pusat Pengembangan Kelapa Sawit, nah PPKS,” ujar Rahman.
Waktu itu, Rahman membeli kecambah dengan harga Rp4 ribu per biji. Ia harus mengocek saku sebanyak Rp200 ribu untuk 50 biji kelapa sawit. Kemudian, biji tersebut dirawatnya hingga bisa untuk ditanam.
“Umurnya sekitar tujuh bulan saat saya tanam,” kata Rahman.
Sebulan pasca tanam, musim hujan datang. Kebun kelapa sawit Rahman terendam. Tidak ada parit di lahannya, membuat Rahman kesulitan dalam pengendalian air. Ia pun sulit untuk melakukan pemupukan. Mimpi buruk jadi kenyataan.
“Saya seperti orang, kalau orang punya modal dan bisa steking lahan. Kalau saya, modal cangkul saja,” ujar Rahman.
Sawit yang baru ditanam tersebut tidak sekali dua terendam banjir. Hampir setiap datang hujan lebat, lahannya terendam. Ia tak putus asa. 40 batang sawitnya tetap mendapat perawatan.
“Saya pergi ke toko tani di Benai. Di sana, saya cerita kondisi sawit dan tanya-tanya sama pemilik toko, apa pupuk yang tepat. Disarankan untuk memberi kalium,” ujar Rahman.
Sebagai petani mandiri, Rahman kesulitan dalam mendapatkan pupuk subsidi. Ia berusaha mencari ke Kari hingga Jake. Ia bercerita, pemilik toko enggan menjual pupuk bersubsidi kepadanya.
“Mereka kira, saya punya kebun seluas 40 hektare, padahal hanya 40 batang,” ujar Rahman sambil tertawa. Setelah diyakinkan, akhirnya, Rahman mendapatkan pupuk bersubsidi.
Setelah 40 batang itu, Rahman kembali mengolah lahan tidur yang lain. Sebenarnya ia tidak terlalu yakin dengan sawit. Apalagi, ia tidak punya pengetahuan mendalam dan kemampuan terbatas. Tapi, karena punya tekad yang kuat untuk keluar dari situasi serba sulit, Rahman menguatkan hati.
“Apalagi, waktu itu harga karet sangat murah. Karet tak lagi bisa diandalkan,” ujar Rahman.
Sama seperti sebelumnya, Rahman bersama sang istri mengolah lahan secara manual. Lahan yang baru itu merupakan semak belukar, Rahman mengaku kesulitan membersihkannya. Karena itu, ia sempat mempekerjakan beberapa orang tetangganya.
“Pahitnya, duit hanya pas untuk belanja dapur. Sedangkan para tetangga minta upah karena pekerjaan selesai. Mau tak mau, tentu upah yang didahulukan,” ujar lelaki 48 tahun ini dengan mata berkaca-kaca mengenang suka dukanya membuat kebun kelapa sawit. Lidahnya sempat tertahan untuk bicara. Matanya berkedip dengan ritme cepat. Ia berusaha menenangkan diri. Ada hal yang tak bisa ia ungkapkan.
Dalam membuat kebun, Rahman melakukannya secara bertahap. Bahkan, ia menanam sawit di antara barisan karet. Tanpa dipagar kawat. Hanya saja, pokok bibit sawit yang ditanam dilindungi dengan seng bekas. “Saya punya kebun karet. Ketika ada pohonnya yang mati, langsung saya ganti dengan sawit.”
“Tindakan saya itu dicemeeh oleh orang. Menurut mereka, usaha saya sia-sia. Tapi, ternyata perkembangan sawitnya bagus. Tidak dirusak hama. Itu pulalah yang membungkam mulut orang yang cemeeh saya,” ujar bapak tiga anak ini.
Rahman sengaja mengganti pohon karet yang mati dengan sawit. Ia tak mau mengganti karet ke sawit sekaligus. Sebab, waktu itu ia masih bergantung dengan karet untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Terakhir saya tanam 126 batang sawit di kebun karet. Masih ada enam baris pohon karet, rencananya segera saya tumbang dan diganti dengan sawit,” kata Rahman memaparkan rencananya.
Kini, setelah 10 tahun berlalu, Rahman Ali tak lagi merasakan kepahitan itu. Ia sudah bisa tersenyum lebar menikmati jerih payahnya dulu. Sawit yang 40 batang telah menghasilkan 700 Kg setiap panen. Bahkan, Rahman sudah punya 5 hektare kebun kelapa sawit.
“Alhamdulillah, sekarang sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Saya bisa menyekolahkan anak,” ujar Rahman. Anak tertua tamat kebidanan, sekarang bekerja di Pekanbaru. Kedua, Despa Indragirta yang baru tamat Instiper Yogyakarta dan sedang training di sebuah perusahaan kelapa sawit di Kalimantan. Terhakhir, Yogi Maindra yang masih duduk di bangku kelas 6 SD.
“Karena saya merasakan enaknya berkebun sawit, makanya anak kedua saya kuliahkan khusus di perguruan tinggi kelapa sawit,” kata Rahman.
Rahman tak ingin buta soal sawit. Anaknya sudah menjadi pelita dalam ‘kegelapan’ kebun sawit. Sejak anaknya kuliah, Rahman sering mendapat kiriman buku tentang kelapa sawit.
“Saya baca-baca buku ini, dari sini saya banyak tahu tentang sawit dan itu langsung saya aplikasikan,” tutur Rahman dengan rasa bangga.
Begitulah kisah Rahman, seorang petani kelapa sawit di Kuansing. Masih banyak kisah Rahman-Rahman lain yang sejahtera dengan kelapa sawit. Terbukti, ekonomi Kuansing terus tumbuh dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Kuansing tumbuh 4,52 persen pada tahun 2019. Sedangkan pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi Kuansing hanya 4,48 persen. Tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Kuansing ditargetkan 4,76 persen.
Data BPS tersebut disampaikan Bappeda Litbang Kuansing dalam Forum Konsultasi Publik (FKP) pada awal Februari 2020 lalu. Pada kesempatan itu, Ir. Maisir, selaku Kepala Bappeda Litbang Kuansing menyatakan sumbangan terbesar atas pertumbuhan ekonomi Kuansing dari sektor perkebunan tahunan, yakni sebesar 33,02 persen.
Sejak awal Bupati dan Wakil Bupati Kuansing Mursini – Halim optimis program bantuan bibit sawit dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, Pemkab Kuansing punya program bantuan 1,5 juta batang bibit kelapa sawit.
Emmerson, Kepala Dinas Pertanian Kuansing optimis target tersebut tercapai hingga tahun 2021 mendatang. Melalui APBD Kuansing, bibit sawit yang disalurkan ke masyarakat baru sekitar 269,364 batang. Sedangkan melalui Badan Pengelola Dana Pengembangan Kelapa Sawit (BPDPKS), Kuansing mendapatkan jatah replanting untuk 8.000 hektare.
“Setalah kami hitung, tinggal 32 ribu bibit yang perlu kita anggarkan pada tahun 2021 mendatang,” ujar Emmerson baru-baru ini.
Masih data BPS, Sampai tahun 2016, luas perkebunan kelapa sawit di Kuansing mencapai 130.468,98 hektare dengan jumlah petani 42.682 KK.
Selain itu, industri kelapa sawit terus tumbuh di Kabupaten Kuansing. Sampai 2019, tercatat sudah ada 20 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan jumlah tenaga kerja lebih kurang 1.987 orang.