SUNGAI TOHOR merupakan sebuah kampung atau desa yang ada di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Meski berada di hamparan pulau, desa ini menyimpan banyak potensi. Salah satu adalah sagu. Konon kabarnya, kualitas sagu Sungai Tohor ini sangat baik. Di desa ini, sagu tumbuh dengan subur bahkan hingga ribuan hektare.
Sebagai sentra produksi sagu Kepulauan Meranti. Di Sungai Tohor, sagu belumnya menjadi komoditi bernilai tinggi. Selain untuk bahan panganan lokal, sebagian besar sagu dibuat pati yang dijual ke negera tetangga Malaysia.
Salah seorang pengelola kilang sagu di Desa Sungai Tohor, Herman mengatakan di Desa Sungai Tohor, ada 14 kilang pembuatan pati sagu yang mampu menghasilkan 300 ton pati sagu dalam waktu 1 bulan.
“Kami mengirim pati sagu ini ke Malaysia, kalau dari kilang kami ini saja bisa 60 ton mengirim ke Malaysia dalam bentuk pati sagu,” kata Herman kepada GoRiau.com, tepat di kilang sagu ditempatnya bekerja.
Dari sekian banyak pati sagu yang bisa dihasilkan, Herman mengaku tidak terlalu puas, karena warga sekitar hanya dapat menjual sagu dengan harga yang terbilang murah.
“Kami membeli dari masyarakat itu, harga satu tual batang sagu sepanjang 1,5 meter sekitar Rp40 ribu, dan untuk per batangnya harganya Rp300 ribu. Sementara kami menjual yang sudah jadi pati ke Malaysia hanya dengan harga Rp 2000 per kilogram pati sagu,” beber Herman.
Sementara itu, Deputi Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia, Haris Gunawan mengatakan, dari data yang diperolehnya, pada tahun 2019, luas perkebunan sagu di Kepulauan Meranti sekitar 39.644 hektar dengan melibatkan sebanyak 8.002 petani. Jumlahnya produksi setahun mencapai 239.085.271 ton, namun dari jumlah yang cukup banyak itu, nilai jual sagu di Kepulauan Meranti terbilang rendah.
Kilang sagu di Sungai Tohor.
“Saya mengatakan, sagu di Meranti ini bagaikan permata yang terpendam. Tahu sendiri kan, permata itu terpendam tapi memiliki nilai yang besar. Sagu disini masih terpendam belum dipoles dengan benar. Padahal jika diolah dengan benar, dan baik maka akan menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, kita lihat saat ini masyarakat di Kepulauan Meranti ini masih hanya mengolah sagu untuk menjadi pati sagu dan beberapa jenis makanan daerah,” ungkap Haris kepada GoRiau.com saat menghadiri Festival Sagu Nusantara di Desa Sungai Tohor, pada hari Minggu (15/3/2020) lalu.
Kemudian Haris mengatakan, dari pengamatan yang dilakukan di Desa Sungai Tohor, memang ekonomi masyarakat disana sangat bergantung dengan sagu. Namun dari sekian banyak masyarakat yang memiliki kebun sagu belum mampu menginovasikan sagu agar memiliki harga jual yang tinggi.
“Itu kalau sagunya tidak diinnovasikan, ya hanya itu-itu saja. Kalau masyarakat hanya menjual tepung sagu basah itu kan nilainya rendah, banyak inovasi yang dapat dilakukan dengan berbagai macam produk olahan yang bisa dihasilkan dari sagu, dan harga yang dapat diraih bisa bervariasi, ada yang kelas premium, ada yang biasa, seharusnya seperti itu. Kalau disini banyak sagu tapi nggak bisa diapa-apakan, ya ujung-ujungnya kita tahu gimana kan, paling masyarakat menjual ke Malaysia dengan harga murah,” lanjut Haris.
Untuk itu kata Haris, ada sejumlah solusi yang dapat diberikan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG), sembari menjalankan program untuk merestorasi gambut di wilayah Kepulauan Meranti, dimana dengan adanya pohon sagu yang hidup di gambut, juga mendukung proses restorasi gambut terutama dalam hal menjaga intensitas air yang dibutuhkan sagu dan gambut.
Aktifitas di Kilang Sagu Sungai Tohor.
Haris menuturkan, sagu sebagai tumbuhan endemik rawa gambut Indonesia dengan persyaratan tumbuh marginal dan produktivitas tinggi, menjadi terobosan dan keperpihakan untuk dikembangkan menjadi komoditi nasional.
Sagu merupakan komoditas rawa gambut yang penting untuk berbagai manfaat kedepannya, terutama dalam menyiapkan ketahanan dan keberagaman pangan di tengah maraknya ketergantungan terhadap impor, serta ancaman perubahan iklim yang kian nyata dapat mengancam ketersediaan pangan dunia.
Aneka ragam hasil dari olahan sagu berupa pati sagu bisa menjadi sumber karbohidrat, substitusi bahan pangan pokok: beras, gandum, mie, kue, roti, sirup dan jagung.
Pengelolaan sagu secara berkelanjutan serta penataan aspek hulu hilir industri sagu bisa menjadi solusi dalam upaya revegetasi lahan gambut karena mempunyai potensi dalam merevitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar lahan gambut.
Pendekatan restorasi melalui kegiatan revegetasi di lahan gambut dengan metode paludikultur/tanaman endemik gambut seperti sagu di lahan-lahan yang terdegradasi bisa menjadi terobosan/inovasi dalam memulihkankan lahan gambut.
Salah satu produk sagu yang ditampilkan pada Festival Sagu.
Tepung sagu memiliki karakteristik fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Dalam resep masakan, tepung sagu yang relatif sulit diperoleh sering diganti dengan tepung tapioka sehingga namanya sering kali dipertukarkan, meskipun kedua tepung ini berbeda.
“Maka dari itu kita akan memberikan solusi hulu dan hilirnya, itu tentu harus ada kerjasama antara para pihak pemerintah disini. Kita dari BRG akan melakukan tiga pendekatan yaitu pembasahan, penanaman, dan revitalisasi ekonomi tiga ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Salah satunya BRG melakukan kegiatan revitalisasi bagaimana sagu itu bisa di innovasikan masyarakat dengan membuat kegiatan-kegiatan ya seperti ini Festival Sagu Nusantara. Dimana masyarakat diajarkan membuat beragam jenis olahan makanan dari bahan sagu,” tutup Haris.