PEKANBARU – Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) sudah melaksanakan prosesi adat ‘upah-upah’ kepada salah seorang petani suku Sakai yang menggarap lahan dalam areal konsesi perusahaan PT Arara Abadi.
Namun, masih banyak yang belum tahu tentang apa itu upacara adat upah-upah yang sampai hari ini masih dilestarikan oleh masyarakat Sakai di kecamatan Tualang Mandau, Pinggir dan Batin Solapan, Kabupaten Bengkalis.
Sesepuh suku Sakai, yakni Dr Muhammad Agar Kalipke, menguraikan secara jelas tentang apa itu Upah-upah kepada para tokoh-tokoh Melayu di Balai Adat LAMR, Senin (10/8/2020).
Anak asli Sakai yang lama tinggal di Negara Bagian Hamburg, Jerman ini mengatakan, pada mulanya ‘Upah-upah’ adalah sebuah acara pengobatan babak akhir dalam sebuah pengobatan tradisi perdukunan di masyarakat sakai untuk seorang pasien yang telah berhasil disembuhkan oleh dukun dari penyakit, terutama berkenaan dengan semangat.
Kata Upah sendiri berasal dari kata dasar upah yang maknanya adalah hadiah, atau buah tangan dari keluarga pasien melalui seorang dukun.
“Memang sesuai namanya, Upah-upah ini dibuat, selain untuk makanan pasien yang telah sembuh, sebangsa syukuran, tetapi juga yang paling penting adalah untuk imbalan kepada makhluk halus yang telah membantu pasien ini menjadi sembuh kembali dengan mengembalikan semangat atau roh yang diperangkapnya (makhluk halus)” jelas Agar.
Pantauan GoRiau.com di Balai Adat, prosesi upah-upah dimulai dari dukun Sakai yang membakar kemenyan hingga aroma kemenyan memenuhi ruangan.
Selanjutnya, kemenyan diserahkan kepada pemuka adat Sakai yang menjadi pengupah-upah pertama. pengupah-upah akan mengelilingi Bongku serta istri dan anaknya dengan membawa kemenyan yang masih berasap tadi.
Setelah itu, pengupah-upah diberikan beras kuning oleh dukun tadi. Beras kuning ini disiramkan pada kelurga Bongku. Sebagai pertanda bentuk semangat kepada Bongku yang sudah lepas dari permasalahan dengan PT Arara Abadi.
Usai menyiramkan beras kuning pada keluarga Bongku, pengupah-upah kembali membawa campuran rempah-rempah dan diberi lilin diatasnya. Prosesinya sama dengan kemenyan tadi.
Selanjutnya, Bongku dipersilahkan meniup api di lilin tersebut dan mencicipi rempah-rempah yang ada dalam wadah tersebut. Proses ini dilakukan secara bergantian oleh tokoh masyarakat Sakai yang hadir.
Berdasar penjelasan, Muhammad Agar, Upah-upah ini terdiri dari dulang kulit kayu cenaih yang bagian atasnya dilapisi dengan daun keai (sebangsa palem). Sedangkan di dalam dulang kulit kayu cenaih ini, atau isi Upah-upah ini adalah;
Boeh patah tampaot–betampaot> Artinya beras putih biasa yang patah-patah, kemudian disambung-sambung. Ini melambangkan barisan masyarakat kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menunjukkan kesatuan yang tak dapat dipisahkan atau terpisahkan.
Boeh panjang somik buieig. Yakni beras putih biasa ang utuh (tak ada yang patah), kemudian disambung-sambung sehingga membentuk lingkaran yang terlihat seperti semut yang berjalan mengikuti satu dengan yang lainnya. Ini menyimbolkan kesatuan dari orang-orang yang disegani di masyarakat.
Bungo samak. Yaitu bunga dari pohon samak. Bunga ini menyimbolkan keindahan. Indah dipandang mata dan senang dirasakan hati. Maka disebutlah dengan kata pujian bedoau bungo samak yang bermakna “berbunyi indah bunga samakâ€.
Boeh puteih siku keluang. Maknanya, beras putih yang dibentuk dan dimiripkan dengan siku/sendi keluang atau siku kalong besar. Beras bentuk ini menyimbolkan orang-orang intelektual atau bijaksana di dalam lingkungan masyarakat adat suku Sakai, yang bisa diajak berunding untuk memecahkan suatu masalah yang ada di dalam libgkungan masyarakat adat Sakai.
Tolou ebuih. Ialah telur ayam rebus. Telur ini memaknakan atau melambangkan/membayangkan kejadian manusia atau asal-usul manusia. Dari telur inilah terlahirnya manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Seorang dukun dengan menggunakan sebutir telur, dipercaya mampu mendeteksi atau meronsen penyakit apa yang ada di dalam tubuh pasien yang sedang mwnderita sakit.
Nasi Kunyik. Yakni nasi ketan yang diwarnai dengan air kunyit dan santan, sehingga berwarna kuning. Nasi kuning dari ketan atau pulut ini ialah menunjukkan kerapatan dan keakraban petinggi-petinggi masyarakat Sakai yang tak mudah dipisahkan dan dipatahkan satu sama lainnya. Paling kurang kita mengharapkan demikian. Warna kuning pula menandakan warna yang berwibawa atau yang diagungkan.
Panggag ayap betangkup. ialah ayam panggang yang ditelungkupkan letaknya pada nasi ketan kuning tadi. Ayam ini, biasanya, ayam jantan yang masih bujang; setelah disembelih, dibumbui, dan dipanggang hingga matang, maka ayam itu diletakkan di puncak nasi kuning.
Dilanjutkan Muhammad Agar, selain memandakan tanda bersyukur, memakan ayam panggang ini juga mempunyai makna tertentu, diluar dari sekedar kebutuhan selingkar perut saja.
Proses pemanggangan ayam ini, sehingga menjadi ayam panggang, menyimbolkan betapa masyarakat adat Sakai sangat menjunjung tinggi budaya mereka yang mengatur hidup dan kehidupan mereka.
Apa yang mereka katakan “Pampeh pemoli daah, dandag pemoli ngaoâ€Â tercantumlah didalam ayam panggang ini. Yakni baik melukai, maupun membunuh sekalipun ada aturan dendanya atau hukumannya.Â
Setelah prosesi Upah-upah dilangsungkan, LAMR kemudian melanjutkan dengan prosesi tepuk tepung tawar kepada keluarga Bongku, diiringi dengan shalawat nabi.
Diberitakan sebelumnya, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) melakukan upah-upah dan tepuk tepung tawar kepada Bongku Bin Jelodan di Balai Adat Melayu Riau, Jalan Diponegoro, Pekanbaru, Minggu malam (9/8/2020)
Upah-upah adalah prosesi adat melayu sakai yang ditujukan untuk mengembalikan semangat seorang pasien, upah-upah dilakukan dengan perantara dukun supaya upah (hadiah) ini bisa disampaikan pada makhluk halus yang sudah membantu pengobatan pasien.
Sebagai informasi, Bongku adalah salah seorang Masyarakat Adat Melayu Sakai yang sempat dipenjara karena menggarap lahan adat yang dikuasai oleh korporasi, yakni PT Arara Abadi.
Tepatnya, pada tanggal 18 Mei 2020, Majelis Hakim PN Bengkalis menghukum Bongku setahun penjara, denda Rp200 juta karena menebang akasia-eukaliptus seluas setengah hektar di dalam konsesi PT Arara Abadi.
Kasus Bongku ini sempat menyita perhatian nasional hingga aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar ikut bersuara. Apalagi, sejumlah mahasiswa sempat ditahan aparat kepolisian saat menggelar aksi pembebasan Bongku.