JAKARTA (Inforiua.ID) – legislatif dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pemohon yakni Anggota DPRD Riau 2014-2019 dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Wahid yang digadang-gadangkan akan bertarung di Pilkada Inhil 2018 mendatang.
Dalam permohonannya, Wahid mengatakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 merugikan Pemohon karena menyebabkan Pemohon harus kehilangan masa jabatannya sebelum masa jabatan tersebut berakhir.
Menurut Pemohon, anggota legislatif tidak dapat disamakan dengan ketentuan TNI/Polri atau PNS yang harus mundur jika ingin ikut dalam jabatan publik.
Terkait dalil tersebut, Mahkamah merujuk pada putusannya Putusan Nomor 45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan Nomor 12/PUU-XI/2013, bertanggal 9 April 2013, selanjutnya dirujuk kembali dalam Putusan Nomor 57/PUUXI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, dan terakhir dirujuk pula dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014 tanggal 8 Juli 2015.
Dalam ketiga putusan tersebut, Mahkamah menyatakan pendiriannya bahwa ketika seseorang telah menjadi PNS maka ia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan.
Sehingga, pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon anggota DPD.
“Meskipun konteks putusan di atas adalah pengunduran diri PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPD, esensinya tidak berbeda dengan permohonan a quo karena baik DPD maupun kepala daerah adalah sama-sama merupakan jabatan politik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected official),” kata hakim anggota Aswanto saat membacakan pertimbangan Mahkamah, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (28/11/2017) seperti dilansir tribunnews,com.
Lebih lanjut menurut Aswan, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s Undng-Undang Nomor 10 tahun 2016 merupakan bentukan dari DPR bersama Presiden yang merujuk pada Putusan Mahkamah Nomor 33/PUU-XIII/2015 terkait dengan ketentuan persyaratan calon kepala daerah bagi anggota legislatif.
Pasal tersebut sebelum diubah sebelumnya berbunyi bahwa pencalonan menjadi calon kepala daerah hanya memberitahukan pencalonannya kepada Pimpinan DPR bagi anggota DPR, kepada Pimpinan DPD bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD.
Aturan itu kemudian diubah oleh DPR bersama Presiden menjadi menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.
“Sehingga Pemohon tidak relevan lagi untuk mempersoalkan norma tersebut oleh karena itu dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” kata Aswanto.
Mahkamah juga mengatakan dalil kedua pemohon tidak beralasan menurut hukum yakni terkait anggoto legislatif yang akan kehilangan jabatannya dalam hal ini selama lima tahun jika mengundurkan diri.
Padahal ketentuan tersebut tidak berlaku untuk petahana kepala daerah yang maju karena cukup mengajukan cuti.
Menurut Mahkamah, kendatipun cuti dalam masa kampanye bagi petahana menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Namun demikian dengan pengaturan yang ada saat ini, seorang petahana yang mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah maka terdapat rentang waktu 4 sampai dengan 6 bulan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah harus diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah akibatditinggalkan cuti.
Apabila hal demikian dikaitkan dengan rencana pelaksanaan Pilkada serentak untuk seluruh Indonesia maka pengaturan cuti pada masa kampanye tersebut akan mengakibatkan semua kepala daerah yang mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah, jabatannya akan diisi oleh Plt.
Jika Plt Gubernur misalnya diambil dari pejabat eselon I di Kementerian Dalam Negeri berarti harus disediakan 34 pejabat eselon I untuk menjadi Plt Gubernur selama 4 sampai 6 bulan.
Dalam batas penalaran yang wajar, selama menjadi Plt Gubernur, pejabat yang ditunjuk menjadi Plt tersebut tidak akan mampu menjalankan tugasnya secara optimal karena harus berbagi fokus dengan jabatan definitifnya di Kementerian Dalam Negeri.
Kondisi demikian, lanjut Mahakamah, sudah pasti berdampak pada jalannya pemerintahan sehari-hari, baik di Pusat maupun di Daerah.
Maka selama cuti tersebut yang dibutuhkan adalah bagaiman mengatur agar tidak ada penyalahgunaan fasilitas yang melekat pada jabatannya.
Dengan mendasarkan pada putusan sebelumnya, maka Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa Calon Kepala Daerah yang berasal dari petahana tidak harus mengundurkan diri tetapi hanya mengajukan cuti di luar tanggungan negara.
Sedangkan calon kepala daerah yang berasal dari anggota DPR, DPD, DPRD harus mengajukan surat pengunduran diri sejak ditetapkan sebagai peserta pemilihan kepala daerah.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” kata Aswanto. (dd)